Berkali-kali ditanya tentang masalah ini, jadi ingin sedikit berbagi tentang kebolehan wanita haid membaca Al-Qur’an (membaca dalam arti sebenarnya, bukan untuk wirid harian atau ta’awwudz dll).
Masalah ini memang termasuk kategori “khilafiyah” (masih diperselisihkan ulama’) karena tidak adanya dalil yang qath’i (pasti). Di bawah ini ada beberapa pendapat ulama terkait hal tersebut:
- Mengharamkan wanita haid membaca Al-Qur’an.
Pendapat ini didukung oleh ulama madzhab Hanafi, Imam Syafi’i dalam qaul jadidnya, dan Imam Ahmad dalam satu riwayatnya. Sahabat yang mendukung pendapat ini di antaranya Umar, Ali dan Jabir. Dari kalangan tabi’in ada Hasan Basri, az-Zuhri, an-Nakha’i dan Qatadah. Berdasarkan dalil sbb:
• pertama hadis Ibnu Umar:
لا تقرأ الحائضون لا الجنب
“Orang-orang yang Junub dan wanita yang haid tidak boleh membaca sesuatu dari Al-Qur’an”. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Baihaqi)
• kedua hadis Jabir:
لا تقرأ الحائض والنفسآء من القرآن شيئا
“Wanita yang haid dan nifas tidak boleh membaca sesuatu dari Al-Qur’an”. (HR. Imam Daruquthni)
Sayangnya, kedua hadis di atas dinilai sebagai hadis DHA’IF, sehingga tidak kuat untuk dijadikan sebagai sandaran hukum.
• ketiga, ketidakbolehan orang haid membaca Al-Qur’an diqiyaskan dengan orang junub. Namun, pengqiyasan ini kurang pas karena ada beberapa perbedaan, antara lain:
~ Orang Junub bisa mandi seketika, sedangkan orang haid tidak.
~ Orang haid bisa melakukan ihram Haji dan wuquf di Arafah, sedangkan orang junub tidak. Di samping itu, hadis yang melarang orang Junub membaca Al-Qur’an juga masih diperselisihkan keshahihannya.
- Memperbolehkan wanita haid dan nifas membaca Al-Qur’an.
Pendapat ini didukung oleh kalangan Malikiyah, Zhahiriyah, Syafi’iyah dalam salah satu riwayatnya, dan Hanabilah pada salah satu riwayatnya.
Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ menjelaskan kebolehan membaca Al-Qur’an bagi wanita haid adalah karena hadis yang mengharamkannya dha’if, dan bagi wanita yang mempunyai hafalan dikhawatirkan akan lupa. Namun, beliau masih berpihak kepada madzhab yang mengharamkan.
Termasuk yang membolehkan adalah Imam Bukhori, Thabari dan Ibnu Mundzir. Mereka mendasarkan pada keumuman hadis:
كان يذكر الله كل أحيانه
“Bahwa Nabi selalu berdzikir kepada Alloh pada setiap waktu”. Perkataan dzikr di sini mencakup membaca Al-Qur’an dan isinya.
Ibnu Taimiyah juga salah seorang ulama yang membolehkan wanita haid membaca Al-Qur’an. Beliau berkata: “Para wanita pada masa Nabi saw terkena haid, jika membaca Al-Qur’an bagi mereka diharamkan seperti halnya sholat, mestinya hal ini menjadi sesuatu yang dijelaskan oleh Nabi pada umatnya, dan dijelaskan juga oleh istri-istri Nabi, dan hal tsb termasuk yang disebarkan kepada masyarakat. Maka, tatkala tidak ada seorang pun yang meriwayatkan pelajaran itu dari Nabi, maka tidak boleh hal tersebut dijadikan pengharaman, dan patut diketahui bahwa Nabi sendiri tidak mencegah hal tsb. Maka bisa dikatakan bahwa membaca Al-Qur’an tidak diharamkan bagi para wanita haid”.
Berdasarkan kedua pemaparan di atas persoalan ini masih dalam wacana “khilafiyah”, hanya saja dari pendekatan dalil, pendapat pertama yang mengharamkan masih lemah, karena hadis-hadis yang dikemukakan dinilai ‘DHA’IF’ dan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam bidang hukum. Padahal untuk mengharamkan sesuatu harus dibutuhkan dalil, sebagaimana kata Asy-Syaukani dalam Nailul Authar 1/285:
“Dengan tidak adanya dalil yang shahih maka hukum dikembalikan pada ‘Al-Bara’ah al-Ashliyyah’ yaitu kebolehan”.
Di samping itu, seorang wanita pada masa kini menjadi guru Al-Qur’an, seorang penghafal Al-Qur’an, siswa yang mengikuti ujian dsb. Jika hal tersebut dilarang, maka akan banyak hal yang terbengkelai. Wallohu a’lam.
Sumber: buku Perempuan dan Al-Qur’an karya Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, M.A.
Barokallah